Di jaman sekarang kaum wanita boleh tersenyum, bernafas lega dan bebas. Kedudukannya sebagai perempuan sudah dipandang layak bahkan terhormat, jika dibanding masa penjajah. Ketika itu kaum hawa hanya berkisar “Kasur, sumur dan dapur, yang menjadikannya selalu tertekan, tertindas, terhina dan tak berguna. Namun setelah emansipasi wanita gagasan R.A. Kartini muncul, pelan-pelan stigma kasar itu terhapus. Selanjutnya slogan-slogan yang di usung Kartini ini selalu disuarakan para aktivis dan tokoh kaum hawa hingga kini.
Dengan dalil mendobrak streotip bias gender kaum feminis, mereke mengusung gerakan emansipai, terus memperjuangkan wanita, menuntut kesamaan, serta kesetaraan hak dengan pria utuk berkompetisi dalam dunia liberal dan terbebas dari ikatan cultural. Mereka berupaya mengjapus, membuang paradigma wanita klasik untuk dibawa, dilindungi serta dihantarkannya menuju mimbar kehormatan dan gerbang kebebasan. Bahkan dalam gerakannya dilindungi undang-undang yang mengatur partisipasi perempuan untuk maju.
Lihatlah Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 tahun 2003, “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Belum lagi di beberapa negara lain, salah satunya di New Delhi, India pada Pendeklarasi Uni antar Parlemen (Inter Parliamentary Union), melahirkan “Hak politik perempuan harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”. Semua ini mengacu dan saling berkaitan pada tindak lanjut konvensi PBB soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Secara kesimpulan, realita telah muncul di tengah-tengah kehidupan modern, bahwa wanita tidak lagi dipandang sebelah mata, lebih dihargai dan dihormati, sehingga dewasa ini, banyak kaum wanita dalam meniti karier, pendidikan bahkan jabatan melebihi kaum pria. Namun, karena kesalahan dalam memahami konsep emansipasi akhirnya apa yang terjadi.. Tujuan dan cita-cita Kartini sudah mulai “melenceng” jauh. Kebebasan yang selama ini menjadi tuntutan menjadi kebablasan. Emansipasi yang selalu di dengung-dengungkan berubah menjadi “Amansipasi”. Degradasi moralitas wanita telah terbuka lebar di depan mata. Pornografi, pornoaksi dan eksploitasi wanita besar-besaran telah mengundang perdebatan a lot, sangat menegangkan antara pro (dapat merusak moral, terutama generasi muda) dan kontra (yang berdalih kebebasan berekspresi dan nilai seni) terhadap RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi).
Peraturan yang pada hakikatnya upaya melindungi kehormatan wanita selama ini justru dijadikan objek penjualan utama produk pornografi dan pornoaksi. Lihatlah! Bagaimana ramainya gambar-gambar, iklan dan tayangan yang sebagian besar mengeksploitasi kaum hawa, bahkan tidak sedikit yang membuka auratnya. Belum lagi berbagai adegan mesum di televisi, semua lebih disimbolkan dengan perempuan. Apakah itu yang namanya emansipasi dan kebebasan, atau lebih “Kebablasan”? Tidaklah semua itu disebut sebagai “Pengkhianatan emansipasi wanita”? Beginilah apabila salah dalam menafsirkan kebebasan tanpa menoleh ke belakang bagaimana Kartini dulu sangat bertolak belakang dengan semua ini. Maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap konsep “Emansipasi wanita”. Secara tidak langsung mereka sudah “termakan” isu yang dilontarkan dari negeri barat yang banyak memusuhi doktrin-doktrin Islam yang jauh lebih memuliakan posisi seorang wanita pada tempatnya sesuai fitroh. Antara laki-laki dan wanita, masing-masing punya hak dan kewajiban sendiri-sendiri serta saling melengkapi sesuai firman Allah yang berbunyi :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa’ ayat 34).
Mereka sama sekali tidak tahu dan sadar jika gagasan yang disusung Kartini yang asli adalah mengadopsi penuh dari apa yang dilakukan oleh para wanita muslimah di era Rasulullah SAW. Sebutlah! Siapa yang tak kenal Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Juwairiah binti Harits, Maimunah binti Harits, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Fatimah binti Muhammad, Ummi Kutsum binti Muhhamad dan masih banyak lagi. Tanpa dikenal sejarah umum, tak pernah dirayakan hari lahirnya, tak pernah dibangga-banggakan, di gembar-gemborkan, mereka hampir terlupakan, tapi mereka justru jauh lebih berhasil dan betul-betul “memerdekakan” derajat kaum hawa.
Mereka-mereka itu bukan saja pahlawan teoritas saja, tapi lebih dari itu. Merekalah wanita-wanita yang telah memberikan suri tauladan mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri, anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya seoptimal mungkin menurut konsep al-qur’an dan assunnah. Dialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya, berani mengangkat senjata, berani menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih kuat, jauh lebih hebat demi tegaknya kalimat Tauhid. Dan semua ini tertulis dengan lengkap dan jelas dalam surat At-Taubah 71, An-Nisa 34, Al-Baqoroh 233, Al-furqan 33 dan Ali Imran 104-110 dan hadist-hadist Nabi, diantaranya adalah : “Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minu para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, dimana ia berkata, “Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabilillah. Mereka mengurangi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata : “Ya Rasulullah, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu nabi SAW mendoakannya…”
Karena itulah jika kita cermati bagaimana para pejuang muslimah dahulu berbeda jauh dengan sekarang. Sesungguhnya fenomena muslimah hari ini (kebanyakan telah menyimpang jauh dari Allah dan RasulNya, dan kehilangan jati dirinya sebagai muslimah adalah hasil dari rekayasa mereka yang menghendaki ajaran Islam itu kabur, sulit difahami dan terkesan kolot (terbelakang) serta menghambat kemajuan. Para wanita yang dalam Islam sangat dihormati dan dimuliakan digugat. Aturan-aturan Islam yang tinggi dan sempurna dituding sebagai biang keladi “terbelakangnya” para wanita Islam. Dengan berkedok penerus Kartini, musuh-musuh Allah yang lantang meneriakkan isu hak asasi, kebebasan, modernisasi, dan persamaan inipun menyerang masalah poligami, hak menthalaq, hak warisan, masalah hijab, dan sebagaina sebagai hal-hal yang melemahkan Islam. Islam dikatakan telah merendahkan harkat dan marabat wanita, sedang Barat lah yang mengangkat dan memuliakannya. Cobalah kita bandingkan dunia Islam dan dunia Barat, pada satu sisi mereka maju di bidang duniwi yang pernah dimiliki kejayaan Islam, tapi kita lihat hubungan-hubungan sosial mereka, hubungan antara masyarakat, suami dan istri orang tua dan anak dan lain sebagainya? Islam lebih gemilang dengan hal-hal itu.
Marilah wahai semua wanita muslimah ! Mari siapkan dan tingkatkan kualitas keislaman kita, agar tidak terpengaruh dengan slogan-slogan barat yang akan menghancurkan pilar-pilar Islam dan menyilaukan mata kita. Selamat Hari Kartini semoga wanita Indonesia bisa lebih meningkatkan khazanah keislamannya dan menghasilkan karya-karya besar untuk kemajuan Indonesia dan Islam pada umumnya, amin Allahumma amin.
Oleh : Nur Asyita
Artikelnya sangat bagus, tyapi sumbernya dari mana? seharusnya jika mengambil artikel atau pendapat orang lain harus ditulis sumbernya..