Gemuruh tepuk tangan terdengar membahana saat Pendiri Taman Bacaan Warung Baca Lebak Wangi (Warabal), menaiki panggung untuk menerima penghargaan yang diberikan langsung oleh Ibu Ani Yudhoyono. Wanita setengah baya bernama Kiswanti ini merupakan salah satu nominator dari 100 Wanita Terinspiratif 2009, untuk kategori Sosial.
Penghargaan malam itu, bagi perempuan asal Bantul Yogyakarta ini, merupakan hasil perjuangan dan kreativitasnya selama bertahun-tahun. "Sesungguhnya penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk masyarakat di mana saya tinggal yang hingga kini masih mau saya layani," tukas kelahiran Desa Ngidikan, Bantul, 4 Desember 1963.
Penghargaan malam itu, bagi perempuan asal Bantul Yogyakarta ini, merupakan hasil perjuangan dan kreativitasnya selama bertahun-tahun. "Sesungguhnya penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk masyarakat di mana saya tinggal yang hingga kini masih mau saya layani," tukas kelahiran Desa Ngidikan, Bantul, 4 Desember 1963.
Di tempatnya tinggal, yaitu di Parung, Bogor, Jawa Barat, perjuangan Kiswanti mampu mengubah 180 derajat masyarakatnya yang dulu buta huruf, kini menjadi masyarakat yang gemar membaca. Berkat keikhlasan Kiswanti pun, kini mereka memiliki sebuah taman bacaan walau sederhana.
Naik Onthel Meminjamkan Buku
Meski berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar patut diacungi jempol. Tahun 1997, Kiswanti mulai mencoba mengenalkan buku dan mengajarkan membaca pada anak-anak di sekitar rumahnya di Kampung Lebak Wangi.
Upayanya ini tak serta merta diterima, bahkan beberapa warga sempat menganggap kegiatan yang diberikan Kiswanti hanyalah sia-sia dan membuang waktu. Dalam pandangan mereka, membaca merupakan budaya 'orang kaya', bukan masyarakat miskin seperti mereka.
"Bukan hanya itu, yang lebih mengkhawatirkan sejumlah anak bahkan bisa menggunakan bahasa tak senonoh saat berselisih paham," jelas Kiswanti, saat diwawancarai halohalo. Untuk itulah, ia makin bertekad membuka taman bacaan dan mengajarkan anak-anak yang tak sekolah dengan cerita-cerita yang mendidik.
Sebelum membuka taman bacaan, Kiswanti meminjamkan buku-buku bacaan ke lingkungannya dengan menggunakan sepeda onthel. Sepeda seharga 300 ribu tersebut ia beli dari uang tabungannya hasil berjualan jamu.
Dengan sepeda tersebut, ia keliling kampung di sekitar Parung, meminjamkan buku-buku bacaan secara gratis untuk siapa saja yang berminat. Ia berharap, dengan cara tersebut warga kampung akan tumbuh minatnya untuk membaca. "Mereka harus tahu kalau dengan membaca buku, kita akan mendapatkan hal dan pengetahuan baru."
Menunggak SPP, Tak Naik Kelas
Sebagai pecinta buku, Kiswanti cukup banyak mendapatkan pengetahuan. Inilah yang ingin ia bagikan pada warga di lingkungannya. Dengan semangat ini pula, ia memperbanyak koleksi bukunya dan mulai membangun sebuah taman bacaan. Diharapkan dengan taman bacaan ini, anak-anak akan lebih banyak mendapatkan pengetahuan.
"Dari kecil saya senang membaca buku apa saja," akunya, tak heran bila ia juga berharap anak-anak lain ikut merasakan dan memiliki kecintaan serta pengetahuan dari membaca. Ibunda Kiswanti, almarhumah Tumirah adalah sosok terpenting dalam hidupnya, meski berasal dari keluarga tak mampu namun sang ibu selalu mendukung kegemarannya dengan membelikan buku-buku murah yang mampu 'menenggelamkan' putrinya.
Ayahnya, Trisno Suwarno adalah seorang petani gurem di Bantul. Akibat tak ada biaya, ia sempat dilarang naik kelas oleh gurunya akibat menunggak SPP selama lima bulan. "Saat itu saya menangis, saya juga bertanya-tanya karena sering ikut berbagai lomba (seperti deklamasi dan membaca-red), tapi kenal tidak membayar SPP selama lima bukan saja tidak boleh naik kelas?" tanyanya dengan suara berapi-api.
Kejadian yang sama berulang saat ia duduk dibangku SLTA, saat itu Kiswanti baru kelas dua dan harus berhenti akibat tak ada biaya. Tak heran bila ijasah yang ia punya hanyalah ijasah dari Madrasah Tsanawiyah Negeri di kampungnya, karena Kiswanti pun tak menyelesaikan Kejar Paket C yang diambilnya.
Geram dengan dunia pendidikan yang menghadangnya, Kiswanti pun memilih untuk mengandalkan buku sebagai gudang ilmu paling berharga. Pengalaman pahitnya ini pula yang membuatnya makin mantap untuk memperkenalkan pentingnya membaca pada para warga di lingkungannya.
Jadi PRT Dengan Bayaran Buku
Mendirikan taman bacaan meski sederhana, tetap membutuhkan modal yang cukup. Dengan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga asal Philipina di tahun 1989, Kiswanti pun pelan-pelan membangun taman bacaannya.
"Saya bekerja tidak minta dibayar dengan uang, tapi dengan buku. Ya kalau sekarang, mungkin saya dibayar sekitar Rp. 40.000," jelasnya.
Ia pun menyisihkan uang belanjanya sebesar tiga ribu rupiah, dari total keuntungan warung kelontong miliknya yang beromset Rp. 7000 per hari.
Bukan itu saja, Kiswanti pun menyisihkan uang dari hasil tulisan ceramah di pengajian kelompoknya. Tulisan itu ia fotokopi lalu dijual seharga Rp. 5000.
"Setahun kemudian saya bisa membeli sepeda," katanya, bangga. Dengan modal itulah, lambat laun koleksi buku taman bacaannya mulai bertambah. Bila awalnya hanya berjumlah puluhan, kini bisa mencapai ratusan buku.
Kini, selain membuat taman bacaan gratis, Kiswanti pun mulai membuat berbagai kursus ketrampilan. Misalnya kursus komputer, mengaji, menjahit maupun menyulam bagi para orangtua. Ini merupakan salah satu strategi Kiswanti agar taman bacaannya tetap dikunjungi.
Setelah sepuluh tahun berkiprah, usia dan kesehatan Kiswanti diakui tak sekuat dulu. Perempuan berusia 45 tahun ini terpaksa mengurangi aktivitasnya yang segudang, akibat penyakit liver yang selama tiga tahun ini telah menyerangnya.
Namun usaha Kiswanti tak sia-sia, setidaknya kini masyarakat sekitar Parung mulai terbentuk budaya membaca. Masyarakat yang dulu dibutakan oleh kebodohan, kini lambat laun bangkit berkat buku pinjaman yang diberikan Kiswanti.
Comments :
0 komentar to “Kiswanti, Kartini Masa Kini”
Posting Komentar