Kamis, 02 April 2009

Sepercik Bara Api Wanita

Hati wanita zaman dahulu sangat senang jika dipanggil dengan kata perempuan. Perempuan dari kata ”empu” yang berarti ahlinya/orang yang pintar/mahir. Akan tetapi jika benar perempuan merupakan sesosok yang akhi dan mahir sudah seharusnya juga bahwa perempuan juga diakui keberadaanya, dinanti kehadirannya, dan disanjung namanya.

Sungguh ironis memang nasib wanita zaman dahulu, hanya sebatas ”kasur, sumur, dan dapur”. Semua itu akibat jeratan/kungkungan dan cekikan adat. Sudah lengkap penderitaan wanita Indonesia pada zaman dahulu, dimana adat mengalahkan segalanya, adat bahwa wanita tidak bisa duduk dibangku sekolah, harus dipingit, dinikahi dengan laki-laki tak dikenal, dan harus sedia dimadu.
Gambaran maut itu telah membuka hati seorang wanita putri dan Bupati Jepara, yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat untuk membebaskan wanita dari jeratan adat. Wanita itu bernama R.A Kartin, ia yang ingin menjadi dokterpun hanya diizinkan sekolah hingga usia 12 tahun karena harus dipingit.
Dibalik jeruji pingitan, R.A Kartini masih bisa membaca buku-buku terbitan Belanda yang memperluas pengetahuannya. Ia membuka sekolah bagi para gadis Jepara. Meskipun sekolah itu berjalan dengan lancar, kembali adat yang merenggutnya. Ia dilamar oleh Raden Adipati Joyo Ningrat dari Bupati Rembang.
Namun usia pernikahan merekapun hanya sebatas umur jagung, saat usia R.A Kartini 25 tahun, Ia harus kembali kesisi-Nya setelah melahirkan Singgih, putra pertamanya. Kendati demikian, karya-karyanya tidak lekas luntur begitu saja. Pemikirannya dapat digali dalam bukunya yang berjudul ”Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dalam buku itu terdapat sebuah surat Kartini yang ternyata kepada Nn Zeehandeelar (6 Nov 1899) ”Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal didalam terungku atau serupa iti. Buan, Stella, penjaraku rumah besar, berhlaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal diisana sesak juga rasanya”.
Mendengar kata-kata itu serasa hati teriris-iris. Bukan dari anak seorang bangsawan yang kita lihat tapi pemikirannyalah yang harus kita renungkan. Dari R.A Karini emansipasi wanita muncul kepermukaan, dan sampai sekarang masih didengungkan oleh kaum wanita dalam memperjuangkan hak kesetaraan dengan kaum pria. Hal untuk mendapatkan pendidikan dan hak untuk mencintai dan dicintai.
Emansipasi wanita, telah membawa kemajuan bagi kaum wanita itu sendiri. Diantaranya untuk duduk di legislatif dengan mengacu pada pasal 65 ayat 1 UU Nomer 12 Tahun 18 Februari 2003. Tidak hany itu, wanita kini telah dihargai dan dihormati serta tidak dipandang sebelah mata lagi. Yang lebih menabjubkan lagi bahwa Indonesia Pernah dipimpin oleh seorang wanita.
Dewasa ini, emansipasi wanita yang merupakan kebebasan lebih mengacu kepada kebablasan. Kebebasan berekspresi dan berpenampilanpun kian marak dimasyarakat. Degradasi moralitas wanitapun juga terbuka lebar didepan mata. Sementara itu terjadi karena kesalahan dalam memahami konsep emansipasi.
Sebagai contoh yang belum lama ini menimpa jagad hiburan pertelevisian Indonesia yang menayangkan seorang penyanyi dangdut yang terlalu bebas berekspresi, bergoyang, dan berpakaian tidak semestinya. Hingga berkaitanm dengan pornografi dan pornoaksi. Walaupun masuh RUU APP, sempat juga menjadi sangat menegangkan dan menjadi perdebatan rebut antara yang pro dengan alasan bahwa pornografi dan pornoaksi dapat merusak moral keturunan generasi muda dan yang kontra dengan alasan bahwa semua itu merupakan kebebasan berekspresi dan nilai seni.
Jika kita mau menelaah lebih dalam, sebenarnya RUU APP itu digunakan untuk melindungi kohormatan wanita yang merupakan objek penjualan, periklanan, dan perfileman. Akan tetapi jika RUU APP itu disahkan, apakah sejarah akan terulang kembali? Perempuan akan kembali hidup dalam belenggu peraturan bari itu. Sebenarnya, apabila wanita berjalan pada jalurnya tidak mungkin RUU itu dibuat. Tidak ada pula kontroversi berkecamuk dimana-mana.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Terdiri dari berbagai suku bangsa, adat dan kepercayaan masing-masing. Setiap daerahpun telah mempunyai pakaian adatnya sendiri-sendiri. Kebaya untu wanita Jawa pada umumnya lalu dan pakaian kurung ciri khas wanita Sumatra Barat ”Mingang Kabau”, orang Jepang saja yang merupakan negara maju tidak malu menggunakan pakaian kimono dan sudah seharusnya kita juga menghargai pakaian adat kita sendiri.
Wanita tetaplah wanita. Dalam kodratnya bahwa wanita tidak bisa bisa disamakan dengan kaum pria karena memang sudah hukum alam. Tetapi ”Biarpun Kuncupnya Mekar Menjadi Bunga”. Ungkapan dari Anis Matta yang artinya, berilah kesempatan sama bagi wanita untuk belajar mengembangkan pengetahuan dan kemampuan. Wanita ibarat bara api, sejauh apapun bara api terpencar tetap saja ia tidak akan menjadi api. Jadi jangan pernah membuat bara api itu menjadi api. Bagi kaum wanita kita manfaatkan emansipasi yang kita peroleh dari jangkauan kita salah gunakan untuk hal-hal yang kebablasan. Dan bagi kaum adam, bimbinglah wanita untuk menjadi yang selalu menjadi bagian negara timur. Bara api akan menyala dengan angin yang berhembus lembut dan akan indah jika memang seperti itu.

Oleh:
Desir intan air nirwana


Comments :

1
pemula crew mengatakan...
on 

Artikelnya sangat bagus, tyapi sumbernya dari mana? seharusnya jika mengambil artikel atau pendapat orang lain harus ditulis sumbernya..

Posting Komentar

Caht With Admin

 

Copyright © 2009 by van-marto